Tugas Cerpen: Jalan Sore Bersama Gori

 "Fel, jalan sore yuk!"

Suara antusias Kania terdengar di ujung telepon. Memang Kania ini hobi sekali berhubungan dengan dunia luar dan berolahraga, terlebih lagi cuaca akhir-akhir ini sedang cerah. "Oke deh," kataku, sembari mengambil pakaian di lemari dan mengambil botol minum, topi, dan perlengkapan lainnya.

"Bun, Feli keluar ya! Mau jalan sama Kania." Sahutku dari depan pintu kepada bunda yang sedang memasak di dapur. "Kamu yakin, nak? Di luar kelihatan mendung loh." Mataku tertuju pada jendela, melihat langit yang sedikit gelap. "Jangan khawatir bun, semuanya bakal baik-baik aja. Diluar juga gak segelap itu kok, masih kelihatan biru. Aku juga udah bawa payung dan jas hujan." Aku membalas sambil menunjuk pada tas ransel kecilku. Ibu terlihat sedikit khawatir, namun membalas, "Yaudah, deh. Jangan aneh-aneh. Hati-hati ya, nak!" Aku balas mengangguk dan keluar.


"Kamu yakin, Kan...? Ini kelihatan serem deh," Kania membawaku jalan sore ke hutan dekat perumahan kami, yang belum pernah kami masuki sebelumnya. Hutan ini juga terlihat gelap dan rindang. Ditambah lagi, perasaanku tidak enak, dan aku merasa tidak nyaman. "Gak papa,  minggu lalu aku diajak ayahku kesini, bagus banget loh! Emang agak susah jalannya, tapi bakal terbayarkan," ujarnya panjang lebar kepadaku. "Yaudah deh..." kami perlahan memasuki hutan tersebut.

Sembari berjalan, kami tidak banyak mengobrol, karena kami kesusahan berjalan di jalanannya yang penuh batu, lumpur, dan dedaunan. Aku pun tidak ingin mengobrol, karena aku sudah merasa was-was. Aku juga menyadari sesuatu yang aneh, hutan ini tidak memiliki jalan setapak, ataupun rambu-rambu bagi pengunjung. Lalu tiba-tiba...

"Feli! Lihat! Ada kucing!" Kania menunjuk pada seekor kucing hitam yang sedang berdiri di dekat sebuah pohon. Kucing itu terus mengeong dan mendekati kami. Ia menempel pada kaki kami, mengeong terus-terusan dengan keras, dan tidak mau pergi. "Fel, kayaknya kita punya teman baru sekaligus pemandu," lalu kami tertawa kecil. "Kita beri saja dia nama... Gori? Bagimana?" Ujarku, mencoba mencari nama untuknya. "Ide bagus. Namanya lucu banget, haha!" Dengan adanya Gori, rasa was-was ku perlahan meleleh.

Kami lanjut berjalan, sambil diikuti Gori, tentunya. Hari semakin gelap, hutan semakin gelap pula. Jam tanganku menunjukkan pukul 5.30 sore. "Kan, udah jam setengah enam, loh. Gak mau balik aja?" Aku menunjukkan jam tanganku kepada Kania dengan wajah melas. "Eh, iya. Aku lupa bawa jam. Yaudah, kita pulang sekarang, yuk." Gori pun mengeong, mungkin ia juga setuju.

Kami berputar arah dan mulai berjalan. "Semoga aja kita masih ingat jalannya, gak ada sinyal disini buat buka peta online. Eh, Gori kemana?" Sahut Kania. Aku menengok ke belakang, dan benar saja, Gori menghilang. Tiba-tiba terdengar suara mengeong, itu Gori! Dia berada di arah lain, mungkin ingin menunjukkan jalan keluar yang benar. Kami buru-buru berputar arah lagi dan mengikuti Gori, ketika tiba-tiba...

"ADUH! AAAH!"

Aku menengok ke belakang. Itu suara teriakan Kania, namun ia tidak terlihat di mataku. "Kan? Kania?! Kamu dimana?!" Mataku memicing pada setiap sudut yang bisa diraih, dan aku melihat sebuah lubang besar di tanah dengan tangan orang yang mencoba meraih ke luar. Itu pasti Kania! Aku berlari mendekati lubang tersebut dan menjulurkan tanganku untuk meraihnya. Ketika tangannya sudah menggenggam tanganku, aku mulai menariknya sekuat tenaga. "Kania! Ayo! Dorong badanmu ke atas juga!" 

Sepertinya aku terlalu fokus menariknya sampai tak sempat melihat ke dalam lubangnya, karena ternyata yang aku tarik bukanlah Kania. Sudah pasti bukan.

Memang wajahnya mirip dengan Kania, namun sudah pasti bukan dia. Kulitnya pucat pasi, matanya terbuka lebar seperti akan keluar, dan senyumnya sangat besar, mengerikan.

Bahkan ternyata tangannya sudah tinggal separuhnya saja.

"AAAH!!!" Aku berteriak kencang dan segera melepaskan genggamanku, dan cepat-cepat mundur. Jantungku masih berdetak kencang, tiba-tiba terdengar sahutan, "Feli! Kamu kenapa? Ayo cepat, nanti kita kehilangan arah karena Gori larinya cepat!"

Kania? Benar kan, orang tadi bukan Kania.

Ia segera meraih tanganku untuk berdiri, dan menariknya untuk berlari mengikuti Gori. Ternyata Gori menunggu kami, ia berhenti berlari sambil menoleh ke belakang. Begitu melihat kami berlari lagi, ia menoleh ke depan lagi dan mulai berlari juga.

"Aduh, Gori, jangan cepat-cepat! Aku bisa pingsan, Gor," sahut Kania, memang anaknya suka melebih-lebihkan semuanya. Akhirnya Gori berhenti berlari dan mulai berjalan perlahan. Kami berhenti berlari, mendesah berat dan menarik napas. 

"Feli, kamu tadi ngapain berhenti, malah bengong lihatin pohon? Udah gitu ketika aku panggil gak nengok, pula. Kamu malah senyum besar banget sambil melotot ke aku. Serem, tau. Kayak bukan kamu."

Loh? Sejak kapan aku lihatin pohon?

"Serius, Fel, serem banget. Untungnya sekarang udah biasa lagi."

Aku bingung, parah. Aku berusaha menjelaskan kejadian sebelumnya juga. Ternyata ia lebih bingung.

"Beneran...? Aku gak jatuh sama sekali loh, apalagi ke lubang besar."

"Ya aku juga gak lihatin pohon, Kan."

"Terus tadi siapa?"

Kami saling tatap, lalu tanpa aba-aba, kami berlari secepat kilat mengikuti Gori sambil berpegangan tangan.


Kami dan Gori sampai juga di luar hutan. Dengan nafas tersengal-sengal, aku mengecek jam tanganku. Hampir pukul 7 malam. Jalanan di luar sudah sepi. Ketika aku menyalakan ponselku setelah mendapat sinyal, ada banyak panggilan tidak terjawab dari bunda.

"Astaga... gak lagi-lagi kita kesitu." Ujar Kania, padahal dia yang mengajakku ke tempat terkutuk itu. "Yaudah deh, ayo buruan, kita pulang. Kayaknya aku bakal dimarahin ibuku." Ia meraih tanganku dan kami berjalan pulang. Aku menoleh ke belakang untuk melambaikan tanganku pada Gori, dan berbisik, "Terima kasih."

Pada saat itu juga aku baru menyadari ada rambu bertuliskan "AREA TERLARANG DILARANG MASUK" di depan jalur masuk hutan tersebut. Gori berdiri di depannya, lalu berjalan lagi masuk ke dalam hutan.

"Gak lagi-lagi kita kesitu", otak ku mengulang kata-kata Kania tadi.

Comments

Popular Posts